Minggu, 31 Juli 2011

Evaluasi



A.   Pendahuluan

Undang - undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 11 ayat 1  mengamanatkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin  terselenggaranya  pendidikan  yang  bermutu  (berkualitas)  bagi  setiap  warga  negara. Terwujudnya  pendidikan  yang  bermutu membutuhkan upaya  yang  terus  menerus  untuk  selalu  meningkatkan  kualitas  pendidikan.  Upaya  peningkatan  kualitas  pendidikan memerlukan  upaya  peningkatan  kualitas  pembelajaran  (instructional  quality)  karena muarad dari  berbagai  program  pendidikan  adalah  pada  terlaksananya   program pembelajaran  yang  berkualitas.  Oleh  karena  itu,  usaha  meningkatkan  kualitas pendidikan tidak akan tercapai tanpa adanya peningkatan kualitas pembelajaran.
Peningkatan  kualitas  pembelajaran  memerlukan upaya  peningkatan  kualitas program  pembelajaran  secara  keseluruhan  karena  hakikat  kualitas  pembelajaran  adalah  merupakan  kualitas  implementasi  dari  program  pembelajaran  yang  telah  dirancang sebelumnya.  Upaya  peningkatan  kualitas  program  pembelajaran  memerlukan  informasi hasil  evaluasi  terhadap  kualitas  program  pembelajaran  sebelumnya.  Dengan  demikian, untuk dapat melakukan pembaharuan program pendidikan, termasuk di dalamnya adalah program  pembelajaran  kegiatan  evaluasi  terhadap  program  yang  sedang  maupun  telah berjalan sebelumnya perlu dilakukan dengan baik. Untuk dapat menyusun program yang lebih  baik,    hasil  evaluasi  program  sebelumnya  merupakan  acuan  yang  tidak  dapat ditinggalkan.


B.     Konsep Dasar Evaluasi

Ada  tiga  istilah yang sering  digunakan dalam evaluasi,  yaitu  tes,  pengukuran, dan penilaian. (test, measurement, and assessment). Tes  merupakan  salah  satu  cara  untuk  menaksir  besarnya  kemampuan  seseorang  secara  tidak  langsung,  yaitu  melalui  respons seseorang  terhadap  stimulus  atau  pertanyaan  (Djemari  Mardapi,  2008:  67).  Tes merupakan  salah  satu  alat  untuk  melakukan  pengukuran,  yaitu  alat  untuk  mengumpulkan  informasi  karakteristik  suatu  objek.  Objek  ini  bisa  berupa  kemampuan peserta  didik,  sikap,  minat,  maupun  motivasi.  Respons  peserta  tes  terhadap  sejumlah pertanyaan menggambarkan  kemampuan  dalam bidang tertentu.  Tes  merupakan bagian tersempit dari evaluasi.
Pengukuran  (measurement)  dapat  didefinisikan  sebagai the  process  by  which information  about  the  attributes  or  characteristics  of  thing  are   determinied  and differentiated (Oriondo,1998:  2).  Guilford  mendefinisi  pengukuran  dengan  assigning numbers to, or quantifying, things according to a set of rules” (Griffin  & Nix, 1991: 3). Pengukuran  dinyatakan  sebagai  proses  penetapan  angka  terhadap  individu  atau karakteristiknya  menurut  aturan  tertentu  (Ebel  &  Frisbie.  1986:  14).  Allen  &  Yen mendefinisikan pengukuran sebagai penetapan angka dengan cara yang sistematik untuk menyatakan  keadaan  individu  (Djemari  Mardapi,  2000:  1).  Dengan  demikian,  esensi  dari  pengukuran  adalah  kuantifikasi  atau  penetapan  angka  tentang  karakteristik  atau keadaan  individu  menurut  aturan-aturan  tertentu.    Keadaan  individu  ini  bisa  berupa kemampuan  kognitif,  afektif  dan  psikomotor.  Pengukuran  memiliki  konsep  yang  lebih luas  dari pada  tes.  Kita  dapat  mengukur  karakateristik suatu  objek  tanpa  menggunakan tes,  misalnya  dengan  pengamatan,  skala  rating  atau  cara  lain  untuk  memperoleh informasi dalam bentuk kuantitatif.

Konsep Dasar Perkembangan Psikologi Peserta Didik


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Konsep pertumbuhan dan perkembangan berlangsung secara interpendensi saling bergantung satu sama lain. Tidak bisa dipisahkan tetapi bisa dibedakan untuk memperjelas penggunaannya (Sunarto, 1999).
Perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh adanya pertumbuhan jika seorang individu mengalami pertumbuhan yang baik maka perkembangan akan baik pula. Pernyataan ini berbanding lurus dengan H.M. Arifin tentang perkembangan, bahwa perkembangan diprasyarati oleh adanya pertumbuhan, oleh karena itu pertumbuhan sangatlah mendukung perkembangan seseorang (Diah Puji, 2009).
Fase perkembangan individu tidak terlepas dari proses pertumbuhan individu itu sendiri. Perkembangan pribadi individu meliputi beberapa tahap atau periodisasi perkembangan, antara lain perkembangan berdasarkan analisis Biologis, perkembangan berdasarkan Didaktis, perkembangan berdasarkan psikologis.
Fase perkembangan Biologis merupakan perubahan kualitatif terhadap struktur dan fungsi-fungsi fisiologis atau pembabakan berdasarkan keadaan atau proses pertumbuhan tertentu. Fase perkembangan dedaktis dapat dibedakan menurut dua sudut tujuan, yaitu dari sudut tujuan teknis umum penyelenggara pendidikan dan dari sudut tujuan teknis khusus perlakuan pendidikan. Fase perkembangan psikologis merupakan pribadi manusia dimulai sejak masa bayi hingga masa dewasa.
Aspek aspek perkembangan individu meliputi fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, moral dan agama. Perkembangan fisik meliputi pertumbuhan sebelum lahir dan pertumbuhan setelah lahir. Intelektual (kecerdasan) atau daya pikir merupakan kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situas baru atau lingkungan pada umumnya. Sosial, setiap individu selalu berinteraksi dengan lingkungan dan selalu memerlukan manusia lainnya. Emosi merupakan perasaan tertentu yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan yang lain. Moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Agama merupakan kepercayaan yang dianut oleh individu.
B.     Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis ingin mengetahui :
a.       Hakikat perkembangan ( perkembangan, pertumbuhan, kematangan dan perubahan ).
b.      Fase – fase perkembangan.
c.       Faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan.
d.      Karakteristik PPPD anak usia SD

C.    Tujuan
Dengan memperhatikan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan masalah adalah :
a.       Untuk mengetahui hakikat perkembangan ( perkembangan, pertumbuhan, kematangan dan perubahan ).
b.      Untuk mengetahui Fase – fase perkembangan.
c.       Untuk mengetahui Faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan.
d.      Untuk mengetahui Karakteristik PPPD anak usia SD.

Hakikat Perkembangan dan Pertumbuhan Peserta Didik 2

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sebagian perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seseorang merupakan bagian dari pertumbuhan dan perkembangannya, sedangkan sebagian lagi dari perubahan-perubahan itu tidak ada kaitannya sama sekali. Seifert dan Haffnung membendakan tiga tipe (domain) perkembangan yaitu:
·         Perkembangan fisik mencakup pertumbuhan biologis. Misalnya, pertumbuhan otak, otot, tulang serta penuaan dengan berkurangnya ketajaman pandangan mata dan berkurangnya kekuatan otot-otot.
·         Perkembangan kognitif mencakup perubahan-perubahan dalam berpikir, kemampuan berbahasa yang terjadi melalui proses belajar.
·         Perkembangan psikososial berkaitan dengan perubahan-perubahan emosi dan identitas pribadi individu, yaitu bagaimana seseorang berhubungan dengan keluarga, teman-teman dan guru-gurunya.
Ketiga domain tersebut pada kenyataannya saling berhubungan dan saling berpengaruh. Sejak tahun 1980-an semakin diakui pengaruh keturunan terhadap perbedaan individu. Menurut Santrok (1992) semua aspek dalam perkembangan dipengaruhi oleh faktor genetik. Aspek-aspek yang paling banyak diteliti sehubungan dengan pengaruh genetik ini ialah kecerdasan dan temperamen.
Arthur Jensen (1969) melontarkan pendapatnya bahwa kecerdasan itu diwariskan, dengan pengaruh yang sangat minimal dari lingkungan dan budaya. Menurut Jensen pengaruh keturunan terhadap kecerdasan sebesar 80 persen, sedangkan menurut ahli lain sebesar 50 persen. Temperamen adalah gaya perilaku atau karakteristik dalam merespons lingkungan. Ada bayi yang sangat aktif dengan menggerak-gerakan tangan, kaki dan mulutnya dengan keras, ada pula yang lebih tentang. Ada bayi yang merespons orang lain dengan hangat, ada pula yang pasif dan acuh tidak acuh.
Menurut Thomas & Chess (1991) ada tiga dasar temperamen yaitu yang mudah, yang sulit dan yang lambat untuk dibangkitkan. Beberapa ahli perkembangan berpendapat bahwa temperamen adalah karakteristik bayi yang baru lahir yang akan dibentuk dan dimodifikasi oleh pengalaman-pengalaman masa kecil yang ditemui dalam lingkungannya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat interaksi antara keturunan dan lingkungan dalam terjadinya perkembangan.
Menurut Santrok dan Yussen (1992) perkembangan adalah pola gerakan atau perubahan yang dimulai sejak saat pembuahan dan berlangsung terus selama siklus kehidupan. Pola gerakan ini kompleks dan merupakan produk dari beberapa
proses yaitu: biologis, kognitif dan sosial.
Pembagian waktu dalam perkembangan disebut fase-fase perkembangan. Santrok dan Yussen membaginya atas lima fase yaitu: fase pranatal (saat dalam kandungan); fase bayi (sejak lahir sampai umur 18 atau 24 bulan), fase kanak kanak awal sampai umur 5 - 6 tahun, kadang-kadang disebut fase pra sekolah; fase kanak-kanak tengah dan akhir, sampai umur 11 tahun, sama dengan usia sekolah dasar terakhir fase remaja yang merupakan transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa awal, antara umur 10/13 sampai 18/22 tahun.
Erik H. Erikson yang melahirkan teori perkembangan afektif mengemukakan bahwa perkembangan manusia adalah sintesis dari tugas-tugas perkembangan dan  tugas-tugas sosial. Perkembangan afektif menurut Erikon terdiri dari delapan fase:

Ekoefisiensi Dan Pembangunan Berkelanjutan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sumber Daya Alam ada dengan berbagai wujud dan persebaran. Ada yang bisa diperbaharui, sebaliknya ada pula yang tidak bisa diperbaharui. Ada juga wilayah yang kaya akan sumber daya alam, sebaliknya ada wilayah yang miskin sumber daya. Semuanya itu seolah membentuk keseimbangan yang seharusnya dijaga. Wilayah yang melimpah akan sumber daya alam tertentu dapat memenuhi kebutuhan di wilayah yang kekurangan. Sumber daya yang tidak dapat diperbarui diusahakan keseimbangannya dengan pengelolaan berbasis prinsip ekoefisiensi dan keberlanjutan. Begitu pula dengan sumber daya alam yang lainnya. Pada hakikatnya kelestarian sumber daya alam bisa dicapai dengan pemanfaatan yang ekoefisien, mengelolanya dengan pedoman berkelanjutan dan berwawasan.
B.     Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis ingin mengetahui :
a.       Ekoefisiensi
b.      Pembangunan Berkelanjutan.
C.    Tujuan
Dengan memperhatikan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan masalah adalah :
a.       Untuk mengetahui ekofisiensi.
b.      Untuk mengetahui pembangunan berkelanjutan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ekoefisiensi
Kehidupan manusia secara individu, bahkan sampai tingkat pembangunan di suatu daerah atau yang lebih tinggi, di tingkat negara misalnya, hampir selalu didasarkan pada pemanfaatan sumber daya alam. Energi memegang peran yang amat penting dalam kehidupan kita. Tanpa pasokan energi yang cukup laju ekonomi akan melambat. Penyediaan lapangan pekerjaan pun akan turun. Karena itu, penghematan konsumsi energi tak dapat ditawar.
Kuncinya ialah meningkatkan efisiensi penggunaan energi yang maknanya adalah memperbesar proporsi energi untuk proses produksi dan mengurangi proporsi energi yang terbuang. Akibatnya, jumlah energi yang dibutuhkan per unit produk / layanan akan turun. Ini berarti, biaya produksi per unit produk/layanan akan turun pula sehingga potensi profit per unit produk/layanan naik.

Filsafat Pancasila


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam mempelajari filsafat Pancasila ada dua hal yang lebih dahulu kita pelajari yaitu Pancasila dan Filsafat memeplajari Pancasila melalui pendekatan sejarah supaya akan dapat mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi dari waktu ke waktu di tanah air kita Indonesia peristiwa – peristiwa yang saya maksudkan adalah yang ada sangkut pautnya dengan Pancasila. Melalui pendekatan kami berharap untuk mendapatkan data obyektif dapat menghasilkan kesimpulan yang obyektif pula oleh karena manusia tidak mungkin menghilangkan sikap obyektif sebagai salah satu bawaan kodrat, maka kami bersyukur bila mendapatkan kesimpulan yang obyektif mungkin inter obyektif
Sejarah Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan sejarah bangsa Indonesia itu sendiri karena itu dalam tulisan ini kami mencoba mulai dari masa kejayaan bahwa Indonesia merdeka yang kemidian mengalami penderitaan akibat ulah kolonialisme sehingga timbul perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme tersebut kemudian bangsa Indonesia berhasil meproklamasikan kemerdekaan dan berhasil juga menjawab tanatangan tersebut serta mengisi kemerdekaannya itu dengan pembangunnan. Dalam seluruh peristiwa tersebut Pancasila mempunyai peranan penting

Peranan Pemerintah, Keluarga, dan Masyarakat Dalam Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN
a.      Latar belakang masalah
Pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia membutuhkan sinergi antar komponen dan membutuhkan kesepahaman visi seluruh stake holder yang terlibat. Komponen pendidikan yang meliputi raw material (input siswa) , tools (alat-alat dan sarana prasarana), serta process (metode pembelajaran) adalah sebuah sistem yang akan menentukan kualitas out put (lulusan), sedangkan stake holder yang terdiri atas siswa, guru, kepala sekolah, wali murid, dinas terkait dan pemerintah daerah harus sevisi dan sinergi sehingga memperlancar dan mempermudah pencapaian tujuan baik tujuan akademis maupun pembentukan moral.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini dinilai banyak pihak belum berkualitas, sebagai indikatornya adalah kualitas Human Development Index (Indeks Kualitas Manusia) berada di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singgapura, Thailand, bahkan Vietnam. Ada beberapa faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan di tanah air antara lain: proses pembelajaran belum memperoleh perhatian optimal, guru lebih banyak bekerja sendirian, forum MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) belum berfungsi optimal, sekolah belum menjadi pusat belajar bagi guru. Berdasar UU No 14 Tahun 2005 guru dituntut untuk profesional. Indikator keprofesionalan guru mencakup empat hal yakni kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.Untuk mencapai keempat kompetensi tersebut selama ini ditempuh secara konvensional yakni melalui diklat dan penataran. Akan tetapi model konvensional tersebut belum menunjukkan hasil yang optimal karena materi penataran akan dilupakan begitu saja setelah sampai di sekolah.

Study Kasus Manajemen Berbasis Sekolah

BAB I
PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang
Studi kasus adalah salah satu metode penelitian dalam ilmu sosial. Dalam riset yang menggunakan metode ini, dilakukan pemeriksaan longitudinal yang mendalam terhadap suatu keadaan atau kejadian yang disebut sebagai kasus dengan menggunakan cara-cara yang sistematis dalam melakukan pengamatan, pengumpulan data, analisis informasi, dan pelaporan hasilnya. Sebagai hasilnya, akan diperoleh pemahaman yang mendalam tentang mengapa sesuatu terjadi dan dapat menjadi dasar bagi riset selanjutnya. Studi kasus dapat digunakan untuk menghasilkan dan menguji hipotesis.
Dalam UU RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa wujud otonomi daerah (Otda) dalam pelaksanaannya adalah otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Otonomi yang luas artinya mencakup kewenangan semua bidang kecuali hankam, peradilan, moneter dan fiscal, agama, politik luar negeri dan kewenangan lainnya. Otonomi yang nyata artinya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan didaerah. Otonomi yang bertanggung jawab artinya pertanggungjawaban daerah sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban daerah. (Tilaar 2006 : 495)
MBS berpotensi untuk meningkatkan partispasi masyarakat, kepala sekolah guru, administrator yang professional. Berdasar kebijakan pemerintah tentang upaya memperbaiki kualitas pembelajaran melalui MBS inilah maka diharapkan dapat membawa angin segar bagi para guru untuk melakukan kebebasan akademik dalam mendidik peserta didik termasuk didalamnya meningkatkan kualitas pembelajaran. Apabila pengambilan keputusan dilakukan ditempat yang paling dekat dengan berlangsungnya proses pembelajaran hal tersebut dapat membuat sekolah menjadi lebih baik. Oleh karena itu, memulai studi tentang iklim kelas dalam rangka manajemen berbasis sekolah dengan tujuan peningkatan kualitas pembelajaran disekolah sangat penting dan dibutuhkan menurut Tilaar (1998 : XII), “krisis pendidikan yang dihadapi Indonesia dewasa ini berkisar pada krisis manajemen. Menurutnya, manajemen pendidikan dirumuskan secara sederhana sebagai mobilisasi segala sumber daya pendidikan untuk mencaai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Karena itu dengan diterapkannya MBS ini menjadi harapan banyak pihak agar krisis pendidikan akan bisa diselesaikan atau setidaknya bisa diminimalisasi”.
Banyak pakar dan pemerhati pendidikan menyumbangkan pikirannya untuk mengkaji model MBS yang sesuai dengan negeri ini. Pada dasarnya, tidak satu model MBS yang baku untuk semua kondisi yang berbeda-beda. Dengan MBS sekolah memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan yang terkait langsung dengan kebutuhan-kebutuhan sekolah. Dengan MBS, unsur pokok sekolah memegang kontrol yang lebih besar pada setiap kejadian disekolah.
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) diharapkan mampu menjadi jawaban atas paradigma baru manajemen yang diperlukan. Manajemen pendidikan menurut MBS adalah manajemen yang berpusat pada sumber daya yang ada pada sekolah itu sendiri, sehingga akan terjadi perubahan paradigma manajemen sekolah yang semula diatur oleh birokrasi diluar sekolah menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi internal sekolah.